Kapal feri menuju Desa Tomok

Dari pelabuhan Ajibata, sebuah kapal feri mengantarkan saya menuju Pelabuhan Desa Tomok di Pulau Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Ya, siang itu saya ingin menyambangi sebuah desa yang letaknya berada ditengah Danau Toba. Bersama rombongan wisata dan seorang guide, sepanjang
perjalanan saya menikmati semilir angin dikapal feri. Terlihat pula bukit-bukit hijau yang mengelilingi Danau Toba menambah indah pemandangan. Kurang lebih tiga puluh menit kapal feri yang saya tumpangi merapat ke desa Tomok, saya disambut anak-anak kecil penjual kacang dan singkong rebus yang menawarkan dagangannya.


Didalam Feri


Kain Ulos

Desa Tomok merupakan pintu gerbang dari Pulau Samosir. Kesan turis sudah terlihat ketika menjejakkan kaki didesa ini, dikiri dan kanan jalannya terdapat toko-toko kecil penjual pernak-pernik khas Batak dan kain ulos. Kain ulos adalah kain tenun khas Batak yang umumnya berbentuk selendang panjang. Banyak legenda dibalik selembar kain ulos, leluhur suku Batak percaya jika ada tiga sumber yang memberikan panas kepada manusia yaitu matahari, api dan ulos. Matahari saja tak cukup untuk memberikan kehangatan dimalam hari, kala itu kebanyakan nenek moyang orang Batak tinggal di pegunungan yang cukup dingin. Orang Batak kemudian membuat kain ulos untuk selimut melindungi dan menghangatkan badan. Seiring berjalannya waktu, kain ulos kini tak hanya untuk menghangatkan badan saja, tetapi kain ini disakralkan untuk upacara adat dan simbol masyarakat Batak yang melambangkan persatuan dan kasih sayang. Dipercaya pula jika dipakaikan kepada laki-laki akan menyimbolkan kejantanan sedangkan perempuan untuk melindungi dari pengaruh ilmu hitam.


Deretan penjual di Desa Tomok


Didepan sigale-gale sambil memakai ulos


Kain Ulos tak hanya dibuat oleh perempuan Batak saja, para lelaki pun mahir menenun kain ini. Alat tenun yang digunakan dalam pembuatan kain ulos menggunakan alat kayu sederhana dan masih dioperasikan secara manual. Bahannya dari benang kapas dan pewarnaan alam seperti akar-akaran, dedaunan maupun kulit kayu. Prosesnya memang rumit, sehingga harganya pun bervariasi tergantung kerumitannya. Harganya dibanderol mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta. Masyarakat Batak sangat menjaga dan melestarikan kain ulos sebagai warisan nenek moyang mereka. "Jika membeli kain ulos, hargailah kain ini. Jangan sampai digunakan tidak semestinya seperti digunting, lalu digunakan untuk lap kain maka akan menyakiti hati kami" ucap guide saya.


Makam Raja Sidabutar
Selanjutnya rombongan kami digiring menuju makam Raja Sidabutar. Sebelum naik tangga masuk kekawasan makam setinggi enam meter ini, saya dipakaikan kain ulos yang diselendangkan dibahu saya. Penjaga makam kemudian mewanti-wanti kami jangan berbicara kotor didalam makam dan berperilaku sopan karena makam Raja Sidabutar adalah tempat yang suci, dihormati dan disakralkan.


Terlihat makam raja Sidabutar dan keturunannya beserta orang kepercayaan yang dimakamkan diatas tanah. Peti batu dan makam memang tidak tertanam ditanah, melainkan berada diatas tanah. Makam terbuat dari batu utuh dan dipahat menyerupai wajah aslinya. Ada dua saja Raja Sidabutar yaitu raja pertama Ompu Sorebutu Sidabutar, lalu setelah raja meninggal pemerintahannya dilanjutkan oleh puteranya Ompu Naibatu Sidabutar. Bentuk wajah dari raja Ompu Naibatu Sidabutar terlihat memiliki rambut gimbal dan semasa hidup tak pernah dipotong. Terlihat pula badannya yang gagah dan tegap menandakan raja yang kuat. Selama masa pemerintahannya Raja Sidabutar ini sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan sangat dihormati oleh rakyatnya. Raja pernah memerintahkan bahwa orang Batak tidak boleh memiliki istri lebih satu, jika dilanggar maka akan terkena hukum adat yang sangat berat.

Makam Raja pertama yang terbuat dari batu dimana dibagian kepala digambar sang Raja memanggul anak. Makam Raja Sidabutar tersebut melambangkan orang Batak sangat menghargai dan menginginkan puteranya memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding dengan orangtuanya. Pada makam tersebut, terlihat kain selendang dengan warna merah, hitam, dan putih. Ketiga warna itu menjadi simbol spiritual orang Batak. Putih menandakan warna surga kesucian, merah menandakan warna bumi ketenangan, dan hitam menandakan warna bawah tanah kematian.

Usia makam Raja Sidabutar sekitar 400 tahunan, makam banyak dikunjungi wisatawan dari domestik dan mancanegara. Dipintu keluar didekat tangga, terlihat sebuah kotak untuk meletakkan uang. Rupanya, biaya untuk merawat makam Raja Sidabutar, berasal dari uang seikhlasnya setiap pengunjung. Saya salut dengan masyarakat Batak desa Tomok yang masih kuat menjaga dan menghormati makam leluhurnya.


Memakai kain ulos di makam raja Sidabutar, wanita memakai warna cerah dan laki-laki memakai warna gelap


Setelah memasukkan uang seikhlasnya, saya melihat pahatan cicak menghadap ke empat payudara. Penasaran, saya bertanya kepada guide. Ukiran cicak melambangkan orang Batak harus bisa hidup seperti cicak, mudah beradaptasi dengan menempel dimanapun. Sedangkan payudara merupakan simbol bahwa orang batak harus memiliki banyak anak. Dahulu keluarga Batak harus memiliki banyak anak karena kepercayaan semakin banyak anak akan semakin banyak rezeki. Sementara, keempat payudara tersebut mengartikan, dimanapun orang Batak pergi maka harus ingat kepada ibu dan istrinya.


Patung Sigale-gale


Sebelum melihat pertunjukan sigale-gale, guide kami menceritakan sejarah dibuatnya patung sigale-gale yang penuh kesedihan dan mistik. Sigale gale diibaratkan sebagai Putra tunggal dari Raja Rahat sebagai penerus satu-satunya kerajaan. Manggale, putera Raja Rahat meninggal di medan perang, kemudian Raja Rahat mengalami kesedihan yang sangat mendalam akibat puteranya meninggal. Untuk mengusir kesedihan Raja, ada seorang tabib yang mengusulkan untuk dibuat suatu upacara adat, dengan membuat pahatan boneka kayu menyerupai wajah anaknya Sigale-gale. Dalam upacara itu, sang tabib memanggil roh Si Gale-Gale dan rohnya dimasukkan ke dalam kayu yang dipahat menyerupai wajahnya. Boneka Si Gale-Gale akan menari dengan iringan khas musik Batak Toba dan bahkan bisa menangis.


Patung sigale-gale


Proses pembuatan boneka sigale-sigale ini pun terdengar sangat mistik, konon seseorang yang sudah selesai membuatnya akan meninggal karena dijadikan tumbalnya. Mungkin karena inilah sigale-gale saat ini sangat langka jumlahnya. Agar tidak terjadi korban dalam pembuatan sigale-gale, boneka sigale-gale dibuat lebih dari dua orang yaitu ada yang membuat beberapa anggota badan seperti kaki, tangan dan tubuh lainnya dengan pembuat yang berbeda. Kini meskipun patung sigale-gale jumlahnya hanya beberapa, namun masyarakat Batak mampu menjaganya agar tak punah dan bisa dinikmati wisatawan.

Dengan diiringi musik Batak, saya melihat pertunjukan tarian sigale-gale. Saya melihat patung sigale-gale menari sambil menggerakkan tangannya, kepalanya bisa menengok kekiri kekanan, bahkan lidah dan matanya bisa bergerak. Terlihat seorang anak berumur belasan tahun sebagai dalang yang menggerakkan patung sigale-gale dibalik patung tersebut. Instrumen musik mengiringi selama tiga puluh menit pertunjukan. Saat ini memang patung sigale-gale tak dihidupkan lagi menggunakan roh. Namun, lewat tangan-tangan lincah keturunan Batak, kita dapat melihat pertunjukan boneka ini sekan hidup dengan gerakan yang lemah gemulai. Sigale-gale juga diartikan sebagai yang lemah gemulai. Mengakhiri pertunjukan beberapa penonton diajak menari tor-tor didepan patung sigale-gale, sayapun ikut menari dengan pelengkap kain ulos yang diselempangkan dibahu.


Rumah adat Bolon
Dikawasan pertunjukan sigale-gale terdapatlah rumah adat Bolon yang masih berdiri kokoh. Jumlahnya memang tak banyak, hanya ada empat rumah saja. Konon Rumah Bolon, dulunya hanya ditempati oleh keturunan Raja saja. Namun seiring berjalannya waktu Rumah Bolon ditempati oleh masyarakat Batak yang memiliki kelas sosial yang tinggi. Rumah Bolon yang berarti besar ini, ukurannya sangat besar dan mampu menampung lima sampai 6 keluarga sekaligus.



Rumah Bolon terbuat dari kayu dan beratapkan ijuk seperti segitiga, dan didesain rumah panggung. Atap Rumah Bolon lancip kedepan dan bagian atap belakang lebih tinggi daripada di depan. Atap belakang yang lebih tinggi menyimbolkan orang tua tingkatnya lebih tinggi dari pada anak-anaknya dan orang tua harus dihormati anak-anaknya. Saya melihat pintu masuk Rumah Bolon sangat sempit hanya satu meter. Jika ingin memasuki rumah, ada anak tangga yang harus dipanjat sebagai simbol siapapun yang akan masuk rumah haruslah sopan.

Menariknya, dibawah Rumah Adat Bolon terdapat sebuah boneka kayu yang menyerupai orang dengan kaki dipasung. Saya yang penasaran ini, bertanya kepada guide maksud pembuatan boneka kayu tersebut? Boneka kayu tersebut melambangkan seseorang laki-laki yang bersalah kemudian dihukum akibat berselingkuh dan tidak menghormati orang perempuan. Orang Batak harus menghargai perempuan mulai ibu hingga saudara perempuannya. Rupanya masyarakat Batak juga masih menerapkan titah Raja Sidabutar untuk memiliki satu istri saja.

Perjalanan wisata menyusuri wisata Desa Tomok, timbul rasa decak kagum saya bahwa masyarakatnya masih melestarikan Mahakarya Indonesia dengan masih menjalankan adat istiadat dan menjaga nilai-nilai luhur warisan nenek moyangnya. Jiwa Indonesia terlihat dari kegigihan dan gotong royong mereka menjaga budayanya, kini kita dapat melihat sejarah Batak dari kain ulos, makam Raja Sidabutar, patung Sigale-gale dan Rumah Adat Bolon.