"Ubah Malu Menjadi Mau Bertanya", mengingatkan pada sebuah cerita perjalanan saya di Busan, Korea Selatan.

Busan - Korea Selatan

Hari itu cuaca Busan sedang tak bersahabat dengan kulit tropis saya. Suhu menunjukkan minus 5, padahal di Surabaya suhu normal 30 derajat setiap harinya. Udara tampak mengepul keluar dari rongga hidung dan sesekali menguap melalui mulut saya. Untunglah longjohn dan coat yang saya pakai sedikit menghangatkan tubuh saya.

Gamcheon Culture Village menjadi destinasi wisata pertama yang akan saya kunjungi di Busan. Tak seperti Seoul yang semua tempat wisatanya terhubung dengan subway, di Busan untuk menuju tempat wisatanya harus menggunakan bus umum. Untuk mencapai Gamcheon Culture Village saya haruslah menaiki subway turun di Toseong Station exit 6. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan bus Maeul nomor 2 atau 2-2. 

Dengan sedikit berteriak kepada sopir saya mengucapkan "gamcheonmunhwama-eul" dalam bahasa Korea. Saya duduk dan memperhatikan kondisi bus. Maeul bus berukuran mini seperti ELF yang digunakan travel di Indonesia. Didalam bus, bau amis ikan yang dibawa para ahjumma dan ahjussi menyeruak, mengingatkan saya pada angkutan kota di Surabaya.

Maeul Bus di Busan

Dua puluh menit perjalanan saya dihampiri dan ditepuk pundak saya dengan halus oleh seorang ahjumma. Saya melihat ahjumma tersebut menunjuk keluar bus dengan bahasa isyarat dan bahasa Korea yang saya tak tahu artinya. Saya kemudian memandang kearah jari yang diisyaratkan tadi, rupanya ahjumma tadi ingin memberitahukan saya bahwa saya telah sampai di Gamcheon Culture Village.



Jalan menuju Gamcheon Culture Village

Saya dibuat terharu oleh warga Busan yang ramah, mereka dengan ikhlas malah memberitahukan tujuan saya. Padahal di dalam bus saya hanya terdiam sambil memperhatikan orang-orang disekitar saya. Saya yang malu bertanya ini pun menyesal mengapa tidak berbasi-basi kepada mereka didalam bus.

Gamcheon Culture Village, yaitu sebuah desa wisata bekas tempat pengungsian warga Korea sewaktu perang dengan Jepang. Desa ini dulunya desa yang kumuh dan miskin, hingga ditahun 2009 pemerintah Busan menyulapnya menjadi sebuah desa wisata yang unik. Pemerintah melibatkan para seniman untuk mengecat dinding pemukiman dengan warna-warna cerah, adapula grafiti, lukisan trick eye dan beberapa patung dengan bentuk yang sangat unik.






Saya membeli sebuah peta seharga KRW 2000 jika dikurskan setara dengan Rp. 20.000,- Peta tersebut menunjukkan informasi jalur yang harus saya lalui dan beberapa spot yang saya ambil untuk mencap stempel. Tanda stempel tersebut untuk menandai bahwa saya telah mengunjungi spot yang ditentukan.

Peta Gamcheon Culture Village
Cap Stempel

Saya menyusuri jalanan Gamcheon Culture Village, sesekali saya berhenti ketika melihat spot foto yang tampak menarik. Jalanan di Gamcheon Culture Village adalah jalanan yang menanjak naik dan turun, bahkan ada anak tangga kecil yang curam membelah pemukiman tersebut. Saya melihat kegiatan masyarakatnya yang asyik mencuci panci, bergosip di depan rumah dan para ahjussi yang asyik membaca koran.

Jalan menanjak di Gamcheon Culture Village


Saya sampai di spot dimana sebuah rumah yang dipenuhi dengan kartu pos. Bagi yang membeli peta akan mendapatkan kartu pos gratis. Di atas rumah tersebut, saya menaiki balkon untuk melihat suasana Gamcheon Culture Village dari atas ketinggian. Desa wisata ini tampak cantik dengan warna dinding yang berwarna-warni dan diapit oleh pelabuhan besar.

Pemandangan dari atas balkon
wisatawan yang asik berselfie
Selfie dulu, maafkan kalau narsis biar nggak dikira hoax

Puas menikmati Busan dari balkon tersebut, saya turun melepaskan lelah di kursi di depan rumah kartu pos tadi. Saya melihat seorang ahjussi duduk dengan membawa peta dan melihatnya dikerumuni oleh wisatawan. Saya hanya diam memperhatikannya, samar-samar saya mendengar percakapan mereka dalam bahasa Korea.

Rumah kartu pos

Ahjussi tadi kemudian melihat saya yang duduk sekitar 3 langkah darinya, beliau kemudian bangkit dengan duduk di sebelah saya.

Percapakan kami dengan bahasa Inggris :
"Anda dari negara mana" saya kaget rupanya beliau bisa berbahasa Inggris 
"Saya dari Indonesia"
"Kamu Indonesia, apakah kamu muslim" kata beliau sambil mengernyitkan dahi 
"Ya, kenapa " 
"Biasanya Indonesia atau Malaysia muslim memakai jilbab" 
Saya tersenyum simpul sambil berkata " Saya akan memakai hijab, jika ke Busan lagi" 
"Lupakan, saya hanya bercanda" ahjussi tadi melanjutkan pembicaraannya

Perkenalan saya tadi kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan ringan kami. Beliau bernama Yeom Jung Hoo atau lebih suka dipanggil Mr. Ronald. Orang Korea memang suka memiliki nama bahasa Inggris agar mudah diingat. Beliau sangat fasih berbicara bahasa Inggris karena merupakan petugas pariwisata sukarela dari penduduk Gamcheon Culture Village.

Mr Ronald yang ramah dengan semua wisatawan
Mr Ronald kemudian mengajak saya kerumahnya, dari Mr. Ronald saya mendapatkan informasi tentang Busan dan petunjuk transportasi untuk mencapainya. Beliau juga berpesan, "Jangan takut bertanya karena meskipun warga Busan banyak yang tidak mengerti bahasa Inggris, saya yakin mereka akan membantumu dengan sukarela"

Busan memang membuat saya jatuh cinta, kota ini sangat berbeda dengan Seoul. Penduduk Busan jauh lebih ramah daripada penduduk Seoul yang cenderung cuek. Satu pelajaran yang saya ambil "Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan" untuk tidak ragu bertanya di manapun, kapanpun dan tentang apapun. Busan merupakan kota yang ramah, saya sering menyebutnya Yogyakarta-nya Korea Selatan.